Sabtu, 30 April 2011

Protokol Kyoto

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Pemanasan global menjadi isu yang panas di tahun-tahun terakhir ini. Hal ini diperkuat dengan dirasakannya perubahan iklim akibat pemanasan global tersebut. Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang jumlahnya semakin banyak di atmosfer, diantaranya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya Matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang–panjang atau radiasi-balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat.
            Secara prinsipil pemanasan global menyebabkan perubahan iklim terutama dalam hal perubahan temperatur, penguapan awan atau hujan, dan naiknya ketinggian air laut akibat mencairnya es di kedua kutub bumi. Hal ini akan berdampak secara tidak langsung pada kematian manusia akibat perubahan iklim dan infeksi penyakit. Dalam bidang pertanian berakibat berkurangnya produktifitas dan meningkatnya kebutuhan irigasi. Di bidang kehutanan berakibat berubahnya komposisi tanaman hutan, rentang geografis hutan, serta produktifitas hutan. Selain itu akan terjadi pengurangan suplai air, perubahan kualitas, dan kelangkaan air. Untuk perairan laut berakibat pada erosi pantai, peningkatan pemeliharaan spesies pantai, dan terkikisnya daratan akibat abrasi. Akibat yang paling buruk adalah punahnya habitat spesies yang tidak mampu beradaptasi. Sementara itu, negara industri yang menyebabkan hal tersebut tidak mampu mengatasinya karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Pada saat yang bersamaan, hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan perubahan iklim.
            Untuk mengatasi masalah pemanasan global tersebut,  pada tahun 1972 diadakan konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) di Stockholm yang membahas lingkungan hidup secara global. Pada peringatan 20 tahun pertemuan Stockholm, digelarlah konferensi bumi di Rio de Jainero tahun 1992 yang kemudian ditandatangani Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). UNFCCC bertujuan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada pada tingkat aman. Kemudian pada Desember 1997 di Kyoto, UNFCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat mengenai perubahan iklim. Maka, ditandatanganilah perjanjian yang disebut Protokol Kyoto oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat gas rumah kaca (GRK) mereka tahun 1990.
Permasalahan yang ditinjau adalah
2.    Bagaimana Urgensi Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim dunia.
3.    Bagaimana Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang terutama Indonesia.

B. Tujuan
            Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah serta tujuan suatu perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Selain itu, makalah ini juga menelaah tentang isi, negara yang meratifikasi, dan cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini bermaksud supaya mahasiswa mengetahui secara detail tentang Protokol Kyoto dan implikasinya. Serta untuk memenuhi tugas Responsi Mata Kuliah Manajemen Lingkungan Industri.  


                                                                                                                   

II. TINJAUAN PUSTAKA

Sebagian sinar matahari yang masuk ke bumi dipantulkan ke angkasa dan secara alami akan diserap oleh gas-gas atmosfer yang menyelimuti bumi. Sinar itu pun kemudian terperangkap di bumi. Situasi ini juga terjadi di dalam rumah kaca yaitu pada saat panas yang masuk terperangkap di dalamnya dan menghangatkan seisi rumah kaca tersebut. Fenomena yang terjadi di bumi tersebut lalu dinamakan efek rumah kaca, sedangkan gas-gas penyerap sinar disebut gas rumah kaca (GRK).
Gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6 dihasilkan dari kegiatan pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF) mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Dikarenakan kegiatan tersebut sangat umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) pun meningkat. Akibatnya semakin banyak sinar yang terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini dikenal sebagai pemanasan global atau Global warming (Anonim, 2010).
Sumber utama emisi gas rumah kaca ini adalah produksi energi. Pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam merupakan penyebab utama terhadap sekitar 80% emisi gas rumah kaca. Hanya sedikit yang mengetahui bahwa sumber terbesar kedua emisi gas rumah kaca adalah penggundulan hutan. Ketika hutan dibuka untuk pertanian atau pembangunan, sebagian besar karbon pada pohon yang dibakar atau terurai lepas ke atmosfer sebagai CO2. Diperkirakan bahwa 3-9 milyar ton CO2 dilepaskan dengan cara ini setiap  tahun (Anonim, 2010).
Sejak revolusi industri abad ke-18, atmosfer dimanfaatkan sebagai kawasan buangan asap atas kegiatan industri, transportasi, dan kegiatan manusia lainnya. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat itu sebesar 290 ppmv (part per million by volume). Kini konsentrasinya mencapai sekitar 350 ppmv. Efek rumah kaca disebabkan emisi lebih dari 20 gas ke atmosfer. Penyumbang terbesar adalah Karbondioksida, Ozon, Methana, Nitrogen dioksida, dan klorofluorokarbon (CFC). Sumber paling besar berasal dari pembakaran energi fosil, seperti minyak, gas alam, dan batubara (Ngili, 2009).
Kebijakan energi diarahkan untuk mengurangi peranan dan proporsi energi tak terbarukan dengan meningkatkan peranan dan proporsi energi terbarukan (renewable energy). Selain itu, pola pengendalian banjir perlu dikaji ulang untuk tidak membuang air hujan ke laut, tetapi mengusahakan penyerapan dan penampungannya melalui situ dan danau. Secara sederhana, kebijakan pembangunan industri, energi, transportasi, dan pengembangan kota diarahkan ke pengurangan energi penghasil gas rumah kaca. Sedangkan kebijakan pertanian, pola pengendalian banjir, dan perencanaan penggunaan lahan serta hutan untuk meningkatkan kemampuan alam menyimpan air hujan dan menyerap gas rumah kaca.
Protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik (Anonim, 2010).
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Persetujuan tersebut  dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."(Anonim, 2010).
Menurut Murdiyarso (2003), Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menandatangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.
Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM), dan Emission Trading (ET). Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.
Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat CDM, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan geoterma dan efisiensi energi untuk produksi di pabrik Indocement.
Tahun 2001, Amerika Serikat berkeputusan untuk menarik dukungannya terhadap Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan mengguncang dan mengganggu stabilitas perekonomian Amerika Serikat.
Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Rusia juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, Protokol Kyoto mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55% dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan". Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.
Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut: Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India, dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negara tersebut (Anonim, 2010).


III. PEMBAHASAN

A.    Isi Protokol Kyoto
Protokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis pasar untuk memperdagangkan sisa kuota karbon atau ‘Certified Emission Reduction’ (CERs). Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan yang menyebabkan polusi mencapai targetnya dengan membeli emisi karbon dari perusahaan lain yang belum menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek pengurangan emisi. Secara khusus, Protokol Kyoto menyetujui hal-hal berikut: (Murdiyarso, 2003)
1.  Menentukan  target  emisi  yang  mengikat  secara  hukum  untuk  negara industri  untuk  mengurangi  emisi CO2  kolektif  hingga  5%  di  bawah  level  tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga tahun 2012.
2.  Menentukan periode komitmen lima tahun berikutnya dimana pengurangan emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar negara-negara anggota protokol Kyoto.
3.  Mendefinisikan sistem perdagangan internasional dimana sisa kuota emisi karbondioksida dan kredit dari komitmen dapat dibeli atau dijual.
4.  Menyetujui sistem akreditasi dimana kredit karbon dapat dikeluarkan pada negara non industri berdasarkan Clean Development Mechanism (CDM) atau pada negara industri berdasarkan Joint Implementation Mechanism (JI).
5.  Menentukan CO2 sebagai  unit  standar   perdagangan, menentukan potensi pemanasan global pada setiap gas rumah kaca non-CO2.
6.  Promosi kerjasama antar pemerintah, meningkatkan efisiensi energi, reformasi energi dan kebijakan transportasi, energi terbarukan dan mengelola endapan karbon seperti hutan dan lahan pertanian.
Dalam keputusannya, Protokol Kyoto menghasilkan pasal–pasal yang telah disepakati oleh seluruh anggota konvensi. Terdapat 28 pasal yang telah disepakati dalam Protokol Kyoto tersebut. Pasal-pasal tersebut antara lain dapat dilihat dalam tabel berikut;


Tabel 1. Pasal-pasal dalam Protokol Kyoto                Sumber: Murdiyarso, 2003.
Pasal
Pembahasan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Definisi
Kebijakan dan tindakan
Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi
Pencapaian komitmen bersama
Isu – isu metodologi
Pengalihan dan pengumpulan unit pengurangan emisi
Komunikasi informasi
Peninjauan informasi
Peninjauan protokol
Penyempurnaan implementasi komitmen
Mekanisme keuangan
Mekanisme pembangunan bersih
CoP / moP
Sekretariat
Badan – badan pembantu
Proses konsultasi multilateral
Perdagangan emisi
Ketidaktaatan
Penyelesaian sengketa
Amandemen
Adopsi dan amandemen lampiran
Hak suara
Depesitori
Tandatangan dan ratifikasi, penerimaan, pengesahan, dan aksesi
Efektivitas protokol
Reservasi
Pengunduran diri
Naskah asli
Annex A : gas rumah kaca dan sektor / kategori sumbernya
Annex B : komitmen pembatasan dan pengurangan emisi tiap pihak
B.     Kontribusi Protokol Kyoto Dalam Mengurangi Efek Gas Rumah Kaca
Pada dasarnya, tercetusnya Protokol Kyoto dilatarbelakangi oleh adanya efek gas rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Secara umum, pemanasan global dapat didefinisikan sebagai peningkatan suhu rata-rata bumi. Gas-gas rumah kaca yang tergolong sebagai kontributor terhadap pemanasan global di antaranya ialah CO2, CH4, N2O, CF4, dan lain-lain. Hingga saat ini telah diketahuui bahwa konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer terus mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Laju peningkatan konsentrasi GRK
GRK
Praindustri-alisasi
Tahun
2000-an
Laju
(ppmv/tahun)
Umur hidup (tahun)
Pemanasan relatif
CO2
CH4
N2O
CFC
280 ppmv
800 ppbv
280 ppbv
0
357 ppmv
1720 ppbv
310 ppbv
0,5 ppbv
1,8 ppmv/tahun
10-20 ppbv/tahun
0,6-0,9 ppbv/tahun
4%/tahun
120
10,5
132
116
1
58
206
5750
Sumber: Suprihari, 2005.
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa setiap jenis gas rumah kaca memiliki laju peningkatan yang berbeda-beda. Laju peningkatan tercepat terjadi pada gas CO2 (1,8 ppmv/tahun). CH4 memiliki angka laju yang terlihat lebih tinggi karena dinyatakan dalam satuan ppbv/tahun. Akan tetapi, jika laju peningkatan CH4 dinyatakan dalam satuan ppmv/tahun maka akan terlihat jelas bahwa karbon dioksida (CO2) memiliki laju peningkatan tertinggi. Hal ini berkaitan dengan BM dari keempat jenis gas emisi tersebut. Selain itu, Tabel 2 menunjukan panas relatif yang berbeda pada setiap jenis gas emisi.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa Protokol Kyoto tercetus dengan dilatarbelakangi oleh adanya pemanasan global. Murdiyarso (2003) menyatakan bahwa perjanjian yang dilaksanakan pertama kali di Kyoto tersebut merupakan sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang dengan tujuan untuk menstabilkan gas-gas rumah kaca. Kadar gas-gas rumah kaca yang stabil akan berimplikasi terhadap kestabilan iklim di permukaan bumi.
Meskipun terasa lambat, hingga saat ini Protokol Kyoto telah berkontribusi terhadap penurunan kadar emisi gas-gas rumah kaca, terutama emisi karbon. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh berbagai negara, termasuk negara di Eropa. Sebagai contoh ialah Inggris. Negara tersebut telah mengeluarkan kebijakan dengan tujuan akhir berupa 15% kebutuhan energi disuplai oleh sumber terbarukan pada tahun 2020. Pelaksanaan kebijakan tersebut didasarkan pada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa energi berbasis fosil merupakan kontributor utama atas semakin meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer.
Terkait dengan peningkatan emisi karbon yang melatarbelakangi dicetuskannya Protokol Kyoto, telah diketahui bahwa industri kertas berbasis kayu hutan merupakan kontributor kedua terhadap peningkatan emisi gas tersebut. Hal inilah yang mendorong berbagai negara untuk mengembangkan industri kertas berbasis non-kayu hutan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan rumput laut. Contoh negara yang telah menerapkan industri tersebut ialah Korea Selatan.
Hingga saat ini telah diketahui bahwa Protokol Kyoto telah berhasil dalam melakukan penurunan gas-gas rumah kaca. Hal tersebut didasarkan pada Proposal Angka Agregat yang menargetkan penurunan emisi, yaitu 30% dari Uni Eropa, 40% dari Cina, India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia serta 32 negara lainnya sebesar 45%. Selain itu, beberapa negara telah menyebutkan angka nasional target penurunan emisi, yaitu Australia menargetkan untuk menurunkan 5-20% dari level emisi 2000 pada 2020. Sedangkan Kanada menargetkan sebesar 20% dari level emisi 2006 pada 2020.
Berbagai capaian yang disampaikan dalam Proposal Angka Agregat merupakan bukti nyata Protokol Kyoto dalam menurunkan kadar gas rumah kaca di atmosfer. Salah satu bukti nyata lainnya ialah kebijakan yang dilaksanakan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004. Langkah tersebut dijalankan atas dasar kemampuan Indonesia dalam melakukan Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM (Clean Development Mechanism).  Mekanisme tersebut merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang.
C.     Urgensi Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim dunia
Protokol kyoto dirasa penting untuk mengurangi dampak-dampak yang dihasilkan dari berbagai masalah iklim dunia. Protokol Kyoto akan memberikan persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metana, Nitrogen dioksida, sulfur heksafluorida, HFC dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012 (Widosari, 2005).
Emisi gas rumah kaca (green house gases) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan itu.  Sektor energi, khususnya kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi) merupakan penyumbang terbesar emisi gas  rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2) dan oleh karena itu, sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. Dengan adanya pengurangan emisi tersebut akan sangat membantu dalam menstabilkan kondisi iklim di dunia yang cenderung semakin memburuk. Buruknya kondisi alam tersebut menjadikan banyaknya terjadi bencana alam akhir-akhir ini. Untuk itu, sangat penting untuk mengendalikan faktor-faktor penyebab bencana alam tersebut, di antaranya dengan mengatur banyaknya emisi GRK di negara-negara maju. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya Protokol Kyoto ini.
Pelaksanaan protokol kyoto ini dapat dilakukan dengan 3 mekanisme untuk mitigasi perubahan iklim yaitu Pertama, Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara maju (investor) menginvestasikan proyek yang bisa menurunkan atau menyerap emisi di negara maju lainnya. Imbal baliknya, kredit penurunan emisi yang dihasilkan proyek tersebut milik negara investor. Kedua, Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB).Dalam hal ini mekanisme memungkinkan negara maju mengimplementasikan proyek yang bisa menurunkan atau menyerap emisi di negara berkembang, kredit penurunan emisi yang dihasilkan merupakan milik negara maju. Ketiga, Emission Trading (ET), mengatur negara maju membeli kredit penurunan emisi dari negara maju lainnya (tanpa harus melalui kerja sama proyek). CDM dikenal sebagai mekanisme dimana negara maju bisa menurunkan emisi GRK dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan yang terbukti dapat menurunkan emisi GRK di negara berkembang. Mekanisme itu merupakan bentuk perdagangan karbon. Negara berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi melalui proyek CDM kepada negara Annex I yang wajib menurunkan emisi. Negara maju dan negara berkembang yang berkeinginan turut dalam proyek CDM harus meratifikasi Protokol Kyoto. Indonesia sendiri meratifikasinya pada 2004 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 (Widosari, 2005).

D.    Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang terutama Indonesia
            Implikasi Protokol Kyoto terhadap negara berkembang sudah banyak dibicarakan di Indonesia. Namun, masih mengalami hambatan dalam hal pemahaman masyarakat terhadap proses Kyoto, isi, dan maksud Protokol Kyoto. Hal ini dikarenakan rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia. Menurut Murdiyarso (2003), Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang dikategorikan ke dalam tiga aspek, yaitu politik dan hukum, bisnis, serta kelembagaan dan SDM.
            Pada aspek politik dan hukum, pengesahan Protokol Kyoto bagi Indonesia akan menguntungkan dalam menjalankan hubungan Intenasional dengan negara-negara lain terutama ASEAN. Selain itu, pengesahan tersebut menunjukkan kepedulian akan masalah global tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Dengan dasar hukum yang sudah tetap yaitu Undang-Undang No.17 tahun 2004 yang memberikan pengesahan ratifikasi Protokol Kyoto. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan Protokol tersebut agar mampu mencapai tujuan seperti yang diharapkan Protokol Kyoto.
            Pada aspek bisnis, dalam pencapaian target penurunan emisi gas negara-negara industri dapat dilakukan secara domestik walaupun akan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Oleh karena itu, negara industri akan beralih ke pasar karbon global melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor (energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik) dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, CDM, dan ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Dari segi investasinya, peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta ton CO2/tahun. Sector energi dan transportasi Indonesia memiliki peluang yang besar untuk mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi dengan mengaplikasikan CDM.
Dari segi kehutanan, Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang mensuplai mayoritas Oksigen di dunia karena wilayah hutan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Brazil. Kelestarian hutan di Indonesia sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.  Ratifikasi Protokol Kyoto berdampak pada keikutsertaan Indonesia sebagai negara pendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup dan emisi karbon. Salah satu program yang penting  dan telah diterapkan oleh Indonesia adalah alih teknologi dan koordinasi dalam penerapan biofuel untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, hutan dan sumber daya alam milik Indonesia juga merupakan lahan investasi, eksplorasi, dan eksploitasi modal negara-negara maju. Indonesia mendapatkan manfaat dari solusi-solusi yang ditawarkan oleh PK dengan meratifikasi Protokol Kyoto. Namun, pasca pelaksanaannya tercatat bahwa tingkat kerusakan atau kehilangan hutan Indonesia menjadi 2,8 juta ha/tahun pada tahun 2006-2007. Selain itu, Indonesia tidak perlu lagi merusak hutan yang memang sudah rusak untuk memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan masyarakatnya karena akan mendapat kompensasi dari negara-negara penghasil emisi karbon (Ngili, 2009).
Pada sektor pertanian, program ketahanan pangan yang terus dilanjutkan dapat berpartisipasi dalam penurunan emisi metana (CH4) dari budidaya padi sawah dan pengaturan pakan ruminansia. Terdapat suatu hal yang sangat penting, yaitu partisipasi dari masyarakat sangat diharapkan terjadi baik pada sektor publik maupun swasta. Partisipasi masyarakat tidak hanya terpaku pada satu sektor saja namun dapat pula berlaku pada sektor yang lainnya. Partisipasi masyarakat diharapkan akan menjamin keberlanjutan (sustainability) proyek terutama proyek yang jangka panjang.
Agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan pada Protokol Kyoto, maka terlebih dahulu adalah melakukan pengesahan Protokol Kyoto. Oleh Karena itu peraturan sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum dalam mengambil tindakan. Kesadaran publik mengenai Protokol Kyoto sangat diperlukan agar implementasinya berlangsung dengan cepat. Selain itu, stakeholder dan kelembagaan menjadi landasan yang sangat baik dalam mencapai tujuan penurunan emisi karbon di dunia. Kelembagaan yang dibutuhkan adalah kelembagaan yang dirancang secara lintas sektor dan multi- stakeholder sehingga mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara efektif.
Peluang Indonesia untuk berpartisipasi dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dan ikut dalam perdagangan karbon terbuka lebar. Mengingat peran signifikan Indonesia dalam Protokol Kyoto sebagai negara yang memiliki kekayaan hutan terbesar sudah sepantasnya kita menjaga hutan kita sebagai pereduksi emisi karbon. Di sinilah paradigma pembangunan berkelanjutan perlu terus dikampanyekan dan diimplementasikan dalam setiap kegiatan pembangunan. Saatnya kebijakan yang lebih sistematis mengenai keberlanjutan ekologi harus diwujudkan sebagai tempat hidup kita. Hal itu dapat terlaksana melalui upaya penyelamatan keutuhan hutan dan lingkungan yang ada dan mempertahankan keanekaragaman hayati yang masih ada di alam

IV. KESIMPULAN

            Protokol Kyoto adalah sebuah kesepakatan atau persetujuan Internasional mengenai pemanasan global yang merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Protokol Kyoto dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari  2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004 dan pada tanggal 3 Desember 2007, sebanyak 174 negara sudah meratifikasi Protokol tersebut termasuk Indonesia.
            Protokol Kyoto berisi aturan-aturan standarisasi mengenai emisi karbon dan gas efek rumah kaca yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
            Pengendalian emisi karbon dan gas rumah kaca melalui Protokol Kyoto sangat diperlukan bagi semua negara. Hal ini dikarenakan, melalui pengendalian tersebut maka akan menurunkan dan mengatasi semakin hancurnya dunia yang timbul karena bencana-bencana yang terjadi. Dengan pengendalian yang tepat maka suhu bumi akan kembali segar dan kehidupan makhluk hidup akan kembali normal.

V. REKOMENDASI

            Protokol Kyoto memilki tiga mekanisme yang sangat baik diterapkan oleh stiap negara. Mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM), dan Emission Trading (ET). Mekanisme-mekanisme tersebut merupakan sarana dalam menjalankan Protokol Kyoto. Bagi negara-negara maju yang terdapat dalam Annex 1 agar mampu melaksanakan Protokol Kyoto dengan tepat pada sektor yang ada agar penurunan emisi menjadi lebih cepat. Salah satu yang dapat diterapkan di negara maju adalah penerapan CDM. Dikarenakan negara maju memiliki modal yang besar sehingga riset-riset akan mudah untuk dilakukan. Dengan menerapkan mekanisme ini maka limbah yang dihasilkan dapat diminimalisasikan.
            Adanya rencana akan berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 membawa kekhawatiran akan berhentinya upaya penyelamatan bumi dan pengembalian kondisi Bumi. Oleh karena itu, kami merekomendasikan semua pihak baik masyarakat, negara berkembang, dan negara maju untuk memulai langkah terbaik dalam menyelamatkan dunia dari bencana-bencana yang semakin banyak terjadi.
            Bagi negara berkembang, penerapan CDM merupakan salah satu langkah yang dapat diambil oleh suatu perusahaan atau industri walaupun membutuhkan biaya yang cukup besar. Terdapat cara lain yang dapat diambil dan tidak menyulitkan negara berkembang adalah penerapan ET (Emission Trading) yang merupakan perdagangan karbon. Dalam hal ini, ET dapat menciptakan pasar untuk negara-negara maju dalam mengemisikan GRKnya. Selain itu, industri-industri negara berkembang harus sudah memulai menggunakan teknologi yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak yang terjadi pada lingkungan.
            Kami juga merekomendasikan untuk negara maju terutama Amerika Serikat untuk merafikasi Protokol Kyoto. Hal ini dikarenakan emisi yang dihasilkan oleh Amerika Serikat sangat besar yakni 36,1% sehingga akan menghambat penurunan emisi sesuai tujuan pada Protokol Kyoto. Kami juga merekomendasikan bagi semua pihak untuk menekan Amerika Serikat agar merafikasi Protokol Kyoto dan ikut membantu dalam agenda penyelamatan Bumi melalui Protokol Kyoto dan hal-hal lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Protokol Kyoto. http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/1673.php.  [18 Februari 2010].
Anonim. 2010. Global Warming.  http://priyadi.net/archives/2005/02/14/protokol-kyoto/. [18 Februari 2010].
Anonim. 2010. Negara Maju dan Berkembang Debatkan Amandemen Protokol Kyoto. Dalam http://rullysyumanda.org/republik-bencana/climate-talk-only/411-negara-maju-dan-berkembang-debatkan-amandemen-protokol-kyoto.html. [18 Februari 2010].
Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ngili, Yohanis. 2009. Peran Penting Indonesia dalam Protokol Kyoto. Dalam http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/lingkungan-hidup/3230-peran-penting-indonesia-dalam-protokol-kyoto.html. [18 Februari 2010].
Suprihari. 2005. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah Dengan Pengelolaan Air. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Widosari, Yavi. 2005. Protokol Kyoto: Solusi terhadap Pemanasan Global. Dalam http://www.chemistry.org/artikel_kimia/berita/protokol_kyoto_ solusi_terhadap_pemanasan_global/. [18 Februari 2010].

1 komentar: